Judul: Tic To Tic Toc: Quarter Life's Tale | Pengarang: Bunga Mega | Penerbit: Sheila| Edisi: Bahasa Indonesia, 2010 | Jumlah halaman: 280 halaman | Status: Pinjam dari Perpustakan Kota Banjarbaru | Rating saya: 3 dari 5 bintang
***
...Suatu hari ada empat buah lilin yang menyala dalam sebuah ruangan yang gelap. Lilin pertama berkata, "Aku adalah Damai. Namun, manusia tak mampu menjagaku maka lebih baik aku mematikan diriku saja!" Lilin damai pun padam. Lilin kedua berkata, "Aku adalah Iman. Tapi, aku tak berguna lagi. Manusia tak mau mengenalku. Tak ada gunanya aku tetap menyala." Lilin iman pun padam. Lilin ketiga bicara, "Aku adalah Cinta. Tapi, tak mampu lagi aku tetap menyala. Manusia tidak lagi membutuhkanku. Mereka saling membenci, bahkan mereka membenci yang mencintainya, membenci keluarganya." Maka tak lama matilah Lilin ketiga.
Lalu, tiba-tiba seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar dan melihat ketiga lilin telah padam. Karena takut berada dalam kegelapan, anak itu pun berkata, "Apa yang terjadi? Kalian harus tetap menyala! Aku takut akan kegelapan!!!" Lalu, ia menangis tersedu-sedu. Dan, dengan terharu Lilin keempat berkata, "Jangan takut. Janganlah menangis. Selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya...karena aku adalah Lilin Harapan."
Dengan mata bersinar, sang anak mengambil lilin harapan, lalu menyalakan kembali ketiga lilin lainnya dengan penuh suka cita dan terang kembali hadir. Apa yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita, yang senantiasa mampu menghidupkan kembali Iman, Damai, dan Cinta...
(hal 183-184)
Bagus ya. Pas membaca ini ditengah-tengah cerita rasanya berkesan sekali. Kata Adam, salah tokoh pria di dalam buku ini, kisah diatas diambil dari cerita inspirational Bunda Theresa.
Cerita di buku ini pun berkisah tentang harapan. Ada tiga sahabat, masing-masing punya harapan mereka sendiri tentang kisah cinta mereka. Donna yang simple, Ilya yang ingin komitmen, dan Shiva yang percaya bahwa jodoh adalah destiny.
Umur mereka bertiga sudah akhir 20-an. Tekanan dari lingkungan sosial membuat mereka mau tak mau harus pusing memikirkan masalah jodoh. Sepertinya dimana-dimana memang seperti itu ya. Bukan hanya di kota kecil, bahkan di kota besar pun orang masih suka mencampuri urusan orang terkait jodoh. Seperti kata Donna:
"Naahhh, itu dia. Kenapa sih cewek selalu kejebak dengan pandangan umum yang belom tentu cocok diaplikasiin ke hidup tiap orang? Akhirnya banyak yang buru-buru kawin gara-gara takut dibilang perawan tua, kalo udah lewat 25 tahun langsung obral sana obral sini, bikin males... Lagian kenapa sih orang Indonesia suka banget ngurusin urusan orang."
Nah, ngomong-ngomong soal kisah cinta mereka bertiga, kisahnya Shiva mirip banget sama kisah saya. Bedanya, Shiva sudah menemukan pangeran destiny-nya, kalau saya belum. Ehm, tapi intinya adalah saya senang sekali ternyata ada yang berpikiran sama dengan saya. Yah, meskipun yang empunya prinsip itu adalah tokoh fiktif. Tapi harapan kalau sebuah kisah cinta model destiny itu memang ada jadi makin melambung, hohoho.
Kisahnya enak dibaca, mengalir, dan endingnya sedikit tidak terduga. Cerita ini dilengkapi dengan puisi-puisi indah. Soalnya ketiga sahabat ini bertemu gara-gara milis pecinta puisi. Banyak kata-kata yang indah dan berkesan. Saya sampai bingung mau 'mengabadikan' yang mana. Beli bukunya saja deh ntar :D
Ini kisah romance. So pasti ada scene yang lagi-lagi bikin saya nangis *abaikan*.
At last, 3 dari 5 bintang untuk buku ini. Terutama untuk kisah cinta Shiva yang gue banget. I liked it ^_^
0 Comments:
Posting Komentar