Feed media sosial saya geger lagi gara-gara masalah ini, wkwkwk. Ada satu penerbit lagi yang memposting isu sensitif ini di media sosial mereka.
Well, seperti yang sudah pernah saya bilang di post di Buku dan Hari Pelanggan Nasional, sebenarnya isu ini tidak terlalu membuat saya baper. Saya mengakui dengan ikhlas dan sepenuh hati kalau saya adalah tipe pembaca buku yang suka memajang-majang buku dulu alih-alih membacanya, wkwkwk, *ditimpukpenerbit*.
Ketidakbaperan saya mungkin karena saya rasa saya tahu alasan kenapa ada beberapa penerbit yang ilfil dengan para penimbun.
Saya pernah mengikuti informasi tentang sebuah lanjutan buku berseri. Teman-teman pembaca selalu menodong si penerbit kapan buku selanjutnya rilis. Todongannya termasuk dalam kategori "ngeri" sih kalau menurut saya, wkwkwk. Kalau saya yang jadi mimin penerbitnya saya pasti baper.
Dan ternyata setelah bukunya terbit, admin penerbit menginformasikan di feed-nya dan menodong balik para pembaca yang sudah mengaku membeli buku tersebut.
Mimin penerbit bertanya apakah bukunya sudah dibaca? Well, semua jawaban yang kebetulan sempat saya baca adalah belum, ehehehe. Dan si admin hanya bisa mengomen balik dengan emoticon pasrah.
Jadi, kalau saya yang jadi penerbitnya, kalau ada banyak pembaca yang menodong kita untuk secepatnya menerbitkan sebuah buku, tentu saya akan berusaha keras agar buku tersebut bisa secepatnya rilis. Mumpung lagi banyak yang kepingin baca.
Harapannya, usaha keras si penerbit tersebut untuk bisa secepatnya menerbitkan buku yang dimaksud akan berbalas dengan "testimoni media sosial" yang diharapkan bisa jadi trending, lalu makin banyak yang tahu tentang betapa serunya buku itu, lalu penjualan buku tersebut akan meningkat dst.
Tapi nyatanya, setelah bukunya terbit, "suasana" langsung senyap. Nah, get the point! Kalau saya yang jadi penerbitnya, saya akan merasa harapan saya yang sempat melambung tinggi ke langit, tiba-tiba dihempaskan ke bumi, *eaaaa*, *lebaymodeon*.
Ini tu bagi saya rasanya kayak ada orang yang pengin minjam buku saya. Terus saya pinjamin dong ya karena saya mengira mereka kepingin sesegeranya baca buku itu. Tapi nyatanya tidak. Buku saya juga berujung di timbunan, tidak dibaca dan tidak kembali-kembali, wkwkwk.
But, itu cuma opini saya saja sih ya, hohoho. Saya tidak tahu apa alasan sebenarnya dibalik status para penerbit yang terkesan menyinggung para penimbun ini.
Sekarang saya jatuhnya jadi sedih ketika membaca "pertengkaran" tentang isu ini di medsos.
Banyak para penimbun yang kecewa dengan pernyataan "buku buat dibaca bukan buat dipajang" ini. Ada diantaranya yang membalas balik dengan nyinyiran yang membuat saya meringis ngeri. Tercabik antara rasa "rasain" atau kasian dengan penerbit tersebut.
Kalau ditanya, saya jelas berada di tim penimbun. Saya rasa para penerbit seharusnya lebih menghargai para penimbun yang rela menyisihkan penghasilan mereka untuk membeli buku.
Tolong jangan disinggung-singgung lagi apakah bukunya sudah dibaca atau tidak. Yang pentingkan bukunya dibeli, bukan hasil nyolong atau apa gitu. Syukur-syukur juga mereka mau memajang bukunya, kan. Kalau kelelep di bagian terbawah timbunan kan ngenes lagi.
Sudah banyak para penimbun yang menyampaikan alasan kenapa mereka menimbun buku dulu alih-alih langsung membacanya. Saya harap para penerbit membacanya agar tidak ada lagi yang menyinggung isu yang membuat para penimbun baper ini.
Bagi saya pribadi, kalau saya membeli buku, itu artinya saya ingin membacanya. Kapan waktunya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Kadang kalau saya kalap, saya bisa beli buku satu ransel besar penuh. Apakah saya harus membaca semuanya sekaligus? Oh ya saya ingin sekali. Seandainya saja masih menjadi jomlo pengangguran yang biaya hidupnya masih ditanggung oleh ortu seperti dulu. Saya ingin bisa kembali ke masa itu.
Namun, life must go on. Sekarang saya adalah seorang working mom yang harus bisa mencuri waktu hanya untuk sekedar membaca satu atau dua halaman buku.
Namun, saya masih gemar membaca. Saya masih gemar membeli buku. Jadi jangan khawatir ya para penerbit. Tetaplah menebitkan buku. Masih banyak para booklover yang akan membeli buku kalian. Tapi tolong jangan disinggung lagi apakah bukunya dibaca atau tidak.
Saya beli buku tujuan utamanya ya untuk dibaca. Kalaupun tidak, bagi saya, masih ada tujuan lainnya. Buku adalah harta berharga, sesuatu yang layak untuk dikoleksi. Memiliki, memajang, bahkan sekedar memandangnya pun sudah bisa membuat hati saya senang. Saya Irabooklover dan yaaaaa saya cinta buku, yess! Salam literasi XD
Aku juga baca masalah ini Mba, di twitter kan rame banget ya dan banyak banget para penggiat buku yang emang udah sering berkeliaran itu pada bikin thread, aku bacain dah satu-satu tapi baru ngeh kalo emang karena ada "sentilan" dari salah satu penerbit 🤣
BalasHapusAku juga sama banget kayak Mba, beli doang tapi belom dibaca... sampe sekarang 1 rak full belom aku baca padahal udah dibeli dari kapan hahaha. Aku juga setuju sama Mba, sangat disayangkan untuk "menyindir" pembaca seperti itu, karena pada nyatanya ada emang orang yang sengaja beli buku untuk dipajang kan apalagi yang cover cakep2. Aku juga menimbun dulu dan dibaca kemudian, yang penting kan kita menimbun buku-buku yang original ya Mba jadi enggak merugikan siapapun (kecuali kita sendiri karena beli buku terussss hahahaha)
Yap, di twitter rame banget, hihihi.
HapusSaya dulu pernah beli buku doang tanpa dibaca karena sudah baca bukunya di perpus. Karena bagus, saya beli untuk koleksi dan belum sempat di reread sampai sekarang.
Bener banget, yang ada kita sendiri yang rugi karena beli buku terus, bahkan yang sudah pernah dibaca di perpus seperti saya, wkwkwkwk.
Iya nih, buku-bukuku rata-rata ada yang belum dibaca. Ada juga yang dibaca di bagian yang perlu aja. Pernah juga karena bukunya udah nggak kuperlukan lagi akhirnya kujual deh kepada yang memerlukan.
BalasHapusSetuju, sesuai keperluan aja Mbak. Kalau kita beli buku buat dipajang aja juga ga masalah, *nyinyirinpenerbit*, *eh*.
HapusSebagai pembaca (dan tentu saja penimbun) buku sekaligus pernah bekerja di penerbitan buku, saya mengerti banget dgn penjelasan Mbak Ira ttg penerbit yg mungkin merasa seperti itu. Tapi yaah gimana ya, keinginan memiliki itu tidak berbanding lurus dgn kemampuan membaca. Kadang saya juga pakai prinsip, yang penting punya dulu, entah bacanya kapan. Dan, ya memang, untuk buku fisik, salah satu alasan mereka dibeli, selain untuk dibaca ya untuk dipajang alias dipamerin. Nggak tau kenapa ada kebahagiaan & kebanggaan tersendiri saat melihat buku favorit (atau buku yg kita inginkan) berjejer rapi, walaupun sebagian besarnya belum selesai dibaca, hehehe.
BalasHapusSetuju banget, Mbak. Buku itu, baik dibaca atau cuma dipajang sama-sama bikin bahagia, hihihi. Dan saya juga prefer untuk punya dulu, soalnya kalau ada kejadian bukunya sold out dan ga dicetak ulang lagi haduh sedihnya :')
HapusHahahaha, dulu aku juga tipe gini, penimbun buku wkwkkw...tambah lagi suamiku juga sama tipenya.haduh numpuk buku kami.tp skrg sebagian besar dan aku sumbangin buku2 wkwk
BalasHapustrs skrg lebih suka pinjem di perpusda, pasti kebaca karena ada target kapan harus dibalikin bukunya hahaha
Wah, kalau saya biar pinjem di perpus juga ada kadang yang ga sempat kebaca Mbak. Ga jarang ada kejadian balikin dulu, trus diperpanjang lagi. Jatuhnya jadi melelahkan diri sendiri, wkwkwk.
HapusBener banget mba. Suamiku sendiri tipe penimbun kok. Istrinya jg rada mirip. Haha. Menurut kami sih, namanya buku itu ad namanya buku referensi yg dibaca ketika kita sdg kepengen tau tentang itu. Trus juga ad namanya buku enjoyable. Yg dibaca berkali2 enak n gak bosen2. Keduanya sifatnya sama2 penting. Jd bukan jg gak begini begitu.
BalasHapusSalam sesama penimbun, yes!
Hapusaku baru tahu ada isu ini. hihi. kalau aku sekarang memang benar-benar selektif kalau mau beli buku. jadi sudah jarang kalap apalagi juga sudah ada aplikasi ipusnas jadi beli buku yang nggak ada di sana aja. hihi
BalasHapusRame Mbak isu ini di Twitter, hihihi. Ah iya, saya juga punya banyak timbunan virtual di iPusnas, wkwkwk.
HapusNah bener nih, sbg pembaca dan kolektor buku juga, aku kadang malu sama timbunan yg belum terbaca. Sekarang setelah belajar hidup minimalis, sekarang aku mulai pilih2 buku yg tidak terbaca lagi buat dijual atau dikasih ke orang lain.
BalasHapusSaya juga Mbak, hidup minimalis benar-benar bisa mempengaruhi saya untuk ikhlas melepas buku yang awalnya disayang-sayang banget XD
Hapuswah ini yang lagi viral kemaren. Menurutku sih penerbitnya terlalu baik ya ngingetin buat dibaca. Padahal kalau orang berubah pikiran jadi malas beli kalau buku yang lain belum selesai itu jadi mengurangi pemasukan mereka sendiri.
BalasHapusTerus kayaknya gak bisa disamain dengan hubungan yg meminjamkan buku dan yg meminjam buku. Soalnya yg meminjamkan gak dapat apa-apa di dunia, paling diakhirat dapat pahalanya. malah hitungannya rugi sih kan ada resiko bukunya rusak juga ehh tau-tau gak dimanfaatin. Jadi semacam pahala kita berkurang karena dia gak ngebaca/ngemanfaatin buku kita.
Beda kalau penerbit semakin banyak buku yang terjual dapat cuankan. Harusnya gak usahlah begitu. Apalagi penerbit juga gak ada ruginya orang yang beli bayar. beda kalau minjam rugi karena ada resiko rusak bahkan gak kembali. wkwkk
Wkwkwkwk, bener juga ya Nis ya. Kalau dari segi itu bener-bener ga bisa disamain. Kalau si penjual untung, yang meminjamkan rugi dunia bahkan ada kemungkinan rugi akhirat juga XD.
HapusYang bisa disamain dari segi perkiraan untuk dibacanya kali ya. Kalau saya meminjamkan buku ke orang, biasanya saya mengira orang itu ingin sesegeranya membaca. Harapannya paling cepat satu minggulah buku saya sudah selesai dibaca dan balik lagi ke saya. Tapi kenyataannya ... ... ..., hiks. Mungkin penerbit begitu juga. Harapannya setelah bukunya dibeli, paling tidak dalam waktu sebulan sudah dibacalah ya untuk bantu promo, tapi kenyataanya bla bla bla juga XD.
Di instagramku hal ini juga ramee bangeeet, tapi aku juga belum tau alias kudet banget ga tau penerbit mana yang bilang gitu. Daripada harus nyinggung Buku Jangan Dipajang Doang, lebih baik penerbit nulis 'Jangan Lupa Babat Habis TBRnya' wkwkwk.
BalasHapusKarena aku juga sama kayak Mba Ira sih. Beli, ya beli aja. Apalagi pas ada diskon. Yg penting punya dulu, dibacanya kapan-kapan. Soalnya membaca butuh waktu. Aku sendiri yg masih jomlo aja udah disibukan kegiatan kuliah-kerja yg menyita waktu. Jadi, bener2 harus pintar nyuri waktu untuk baca.
Yah, intinya semoga ke depannya ga ada penerbit yang nyinggung kayak gini lagi. Toh, kan penerbit juga yg untung kalau buku2 mereka dibeli dulu.
Nah iya benar setuju banget, mending penerbit bikin statement yang lebih halus dengan "Babat Habis Timbunan" atau para penerbit bikin RC berhadiah dengan tema "Babat Habis Timbunan", hihihi maunya XD
HapusTuh iya kan, quote So Many Books So Little Time itu ngena banget ke kita ya, hiks, sekarang benar-benar harus pintar nyuri waktu untuk baca.
Oalah, saya tidak mengikuti keramaian ini, soal buku dibaca bukan dipajang. Pernyataan yang sebenarnya bikin kontroversi dan benar saja ramai dibicarakan. Eh, tapi terlepas dari opini baiknya penerbit bersikap bagaimana, kayaknya ini juga bagian dari marketing penerbit tersebut untuk menaikkan namanya.
BalasHapusContoh teranyar itu soal desain UI untuk penyambutan mahasiswa baru. Mereka merilis desain yang biasa banget, yang disengaja, untuk mencari perhatian masyarakat akan nama UI. Dan konsep ini pernah dibahas oleh akun Youtube Rio Purba mengenai marketing cara ini, dan kesimpulannya, "Sejelek-jelek marketing, itu tetap marketing."
Lalu opini saya soal buku dipajang ini, ya sah-sah saja. Lalu kalau ada pernyataan dari penerbit yang dibahas disini, saya mikirnya, "Oh, itu himbauan saja." Biar kita tetep fokus baca buku, tanpa merasa tersentil parah. Sayang emosi diri, hehe
Wah iya bener juga, bisa jadi ini bagian dari marketing. Soalnya sebelumnya salah satu penerbit populer pernah bikin pernyataan kayak gini dan heboh juga.
HapusWkwkwk, setuju, anggap himbauan aja, yang penting tetap baca buku XD